Belenggu

Otakku kusut.
Alisku berkerut.
Senyumku kecut.
Hatiku,
carut marut.


Sulit menggambarkan apa yang sedang ada dalam pikiran.
Perasaan?
Lebih sulit lagi.

Aku tidak mengerti apakah otakku ini masih berada di tempat yang seharusnya atau mungkin tibatiba ia menghilang sejenak meninggalkan rumahnya karena lelah harus memikirkan ini itu yang tak tentu.

Aku bahkan tidak paham akan kebiasaanku. Mencampuradukkan segala. Menyimpannya rapatrapat. Begitu terus hingga otakku hampir saja pecah.

Cukup hati saja yang pecah, otak jangan.


Tapi kurasa hati yang pecah bisa membuat otak pecah juga.
Atau mungkin itu hanya perasaanku saja.

Aku bingung bagaimana membahasakannya, yang jelas otak dan hati yang samasama pecah ini mampu membuat bingung pemiliknya.
Dalam sekejap.
Bingung akan segalanya.
Lupa akan dirinya.
Tenggelam dalam pikirannya.
Hanyut dalam perasaannya.


Ah, apa ini.
Aku bahkan tidak mengerti akan diriku sendiri.
Bagaimana bisa menuntut oranglain untuk memahamiku sementara diriku tidak dapat memahami dirinya sendiri.
Bagaimana bisa menumpahkan segala jika diriku saja tidak mampu memahami apa yang dirasa.

Bagaimana bisa,
bagaimana bisa
diriku lepas
dari belenggu
yang kubuat sendiri
tanpa sengaja
karena
terlalu banyak
ketidaksengajaan
yang kujadikan
pembenaran.

Karena
terlalu banyak
skenario murahan
yang terngiang
menjadikan
batas antara nyata atau fana
menjadi tiada.

Comments

Popular Posts